Friday, 10 June 2011
CUCI OTAK? APA BISA YA
“Masyarakat lebih mengenalnya cuci otak. Lho kok otak bisa dicuci? Padahal komponen terbesar dari otak adalah air. Hehehe”
Menarik sekali kasus yang akhir-akhir ini dibicarakan di media mengenai fenomena cuci otak. Salah satunya adalah kasus Lian yang merupakan salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah kementerian. Cuci otak merupakan istilah yang sering digunakan oleh masyarakat untuk menyebut sebuah fenomena psikologis yang sebetulnya masuk akal. Dalam psikologi sosial kita menyebutnya sebagai indoktrinasi intensif yang merupakan salah satu bentuk pengaruh sosial. Baron dan Byrne menjelaskan indoktrinasi intensif sebagai proses yang dilewati individu untuk menjadi bagian dari kelompok ekstrem dan menerima belief (kepercayaan) dan aturan dari kelompok tanpa bertanya-tanya serta berkomitmen tinggi. Indoktrinasi intensif merupakan pengaruh sosial yang dipaksakan. Jadi agak berbeda dengan kelompok yang anggotanya masuk secara sukarela tanpa paksaan.Dalam kasus Lian, kelompok yang dimaksud adalah Negara Islam Islamiyah (NII) yang bagi kebanyakan masyarakat dicap sebagai aliran yang menyesatkan islam, karena dalam aliran ini justru ibadah wajib seperti sholat boleh tidak dilakukan.
Indoktrinasi positif memiliki beberapa tahapan agar calon anggotanya mampu menerima tata nilai dan aturan yang berlaku dalam kelompok tersebut. Tahapn-tahapan itu antara lain:
1. Softening-up (tahap pelunakan) yaitu merupakan tahap awal dimana calon anggota berada diisolir dari lingkungan sekitar. Itulah mengapa Lian sempat dinyatakan hilang, karena sebetulnya NII berupaya untuk menghilangkan pengaruh dari orang-orang terdekatnya yang berpotensi menggagalkan upaya doktrin. Proses mengisolasi Lian juga berfungsi agar ia bingung, kehilangan orientasi dan lelah sehingga penyampaian pesan dapat berjalan sesuai rencana.
2.Compliance (tahap kesepakatan) yaitu tahap dimana calon anggota diminta untuk menerima pesan dan norma dari kelompok. Dalam keadaan yang tanpa orientasi serta lelah, ada kemungkinan calon anggota menerima norma dan doktrin dari kelompok ekstrem tersebut.
3. Tahap Internalisasi yaitu tahap ketika calon anggota perlahan-lahan meyakini kebenaran dari pesan serta kepercayaan yang ada di dalam kelompok tersebut. Calon anggota mulai menerima pandangan-pandangan kelompok dan mulai ada ‘ketertarikan’ untuk menjadi bagian dari kemompok.
4. Tahap Konsolidasi yaitu tahap dimana anggota baru sudah secara resmi menjadi bagian dari anggota kelompok. Oleh karena itu ia wajib melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk keberlangsungan anggotanya. Bahkan anggota baru ini nekat melakukan apapun, termasuk menyumbangkan materi dengan cara yang haram seperti mencuri. Begitu kuatnya pengaruh doktrinasi sehingga banyak korbannya memiliki sikap yang berbeda 180 derajat kepada orang-orang yang dulu pernah dekat seperti keluarga dan sahabatnya.
Dalam kasus Lian, ia ditemukan di sebuah masjid di kawasan Puncak, Bogor, dalam keadaan linglung dan lupa terhadap keluarganya. Sampai saat ini keterangan yang saya peroleh dari media memang masih sangat minim mengingat Lian masih belum pulih benar. Kasus Lian memang bukan kali pertama terjadi. Di kampus saya pun konon banyak korban dari aliran X yang menyerupai gerakan laten NII.Modusnya sama, mulai dari mengisolasi calon anggota dari lingkungan sekitar hingga sampai tahap konsolidasi. Ketika itu orang-orang terdekat korban mengaku bahwa korban sering meminjam uang dengan tujuan yang tidak jelas. Begitu kuatnya doktrin hingga seseorang nekat berbuat apapun.
Lalu apakah setiap usaha indoktrinasi intensif itu selalu buruk? Menurut saya tidak selalu. Organisasi militer sepeti tentara atau polisi menerapkan cara seperti ini. Itu sebabnya proses pendidikan hingga di lantik menjadi tentara biasanya berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dengan areal yang terbatas bagi masyarakat umum maupun keluarga. Sementara ketika pendidikan berlangsung, doktrin diberlakukan secara rutin dan intensif, termasuk doktrin yang mengharuskan mereka siap mengorbankan nyawa demi negara. Proses indoktrinasi dalam lingkup militer memang lebih mudah mengingat para calon anggotanya masuk secara sukarela. Hehehhehe
Oleh karena itu, menurut pikiran hemat saya, iman yang kuat, dan rasa percaya diri yang tinggi (bukan berlebih lho) merupakan senjata yang ampuh untuk mencegah kelompok-kelompok ekstrim mengincar kita. Tanpa bermaksud bias gender, mayoritas korban dari indoktrinasi intensif pada kelompok semacam NII adalah wanita. Silakan anda jawab sendiri alasannya.
No comments:
Post a Comment